Janji adalah utang, begitulah pepatah mengatakan. Masyarakat Kalimantan Barat kini tengah menagih janji manis dari Wakil Gubernur terkait kebijakan pembelian Pertalite di SPBU. Dulu, penolakan terhadap penggunaan barcode begitu lantang disuarakan. Tapi, kok sekarang malah berbeda ya?

Dulu sempat ramai soal rencana penggunaan barcode untuk pembelian Pertalite. Alasannya sih, biar penyalurannya tepat sasaran dan nggak disalahgunakan. Tapi, banyak yang khawatir kalau aturan ini malah bikin ribet dan mempersulit masyarakat kecil. Nah, saat itulah sang Wakil Gubernur muncul dan dengan tegas menolak ide tersebut. Masyarakat pun merasa lega dan berharap harga Pertalite tetap terjangkau.

Namun, waktu terus berjalan. Kebijakan demi kebijakan terus bergulir. Dan, tanpa banyak gembar-gembor, wacana penggunaan barcode untuk pembelian Pertalite kembali mencuat. Masyarakat pun bertanya-tanya, Lho, kok bisa begini? Bukannya dulu sudah ditolak?

Kenapa Dulu Menolak, Sekarang Malah Jadi Begini?

Pertanyaan ini tentu menggelayuti benak banyak orang. Apa yang berubah? Apakah ada pertimbangan baru yang membuat kebijakan ini kembali dipertimbangkan? Atau, jangan-jangan ada faktor lain yang mempengaruhi keputusan ini?

Pemerintah tentu punya alasan tersendiri dalam setiap kebijakan yang diambil. Mungkin saja, setelah dilakukan kajian lebih mendalam, penggunaan barcode dianggap sebagai solusi terbaik untuk mengatasi masalah penyaluran Pertalite yang selama ini terjadi. Atau, mungkin ada tekanan dari pihak tertentu yang membuat kebijakan ini sulit untuk dihindari.

Apapun alasannya, yang jelas masyarakat berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Transparansi dan komunikasi yang baik dari pemerintah sangat dibutuhkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dan kegaduhan di tengah masyarakat.

Apa Dampaknya Bagi Masyarakat Kecil?

Inilah yang menjadi kekhawatiran utama. Penggunaan barcode, meski bertujuan baik, dikhawatirkan akan memberatkan masyarakat kecil. Bayangkan saja, mereka yang tinggal di pelosok desa, yang mungkin belum familiar dengan teknologi, harus berurusan dengan aplikasi dan barcode hanya untuk membeli Pertalite. Tentu ini akan menjadi beban tambahan bagi mereka.

Selain itu, antrean panjang di SPBU juga menjadi momok tersendiri. Jika proses pembelian Pertalite menjadi lebih rumit, bukan tidak mungkin antrean akan semakin mengular dan memakan waktu. Hal ini tentu akan mengganggu aktivitas sehari-hari masyarakat.

Pemerintah perlu memikirkan solusi agar kebijakan ini tidak memberatkan masyarakat kecil. Misalnya, dengan memberikan sosialisasi yang intensif, menyediakan layanan pendaftaran barcode yang mudah diakses, dan memastikan ketersediaan Pertalite di seluruh wilayah.

Bagaimana Nasib Janji yang Dulu Diucapkan?

Inilah pertanyaan pamungkas yang terus menghantui. Janji adalah komitmen yang harus ditepati. Jika dulu sudah berjanji untuk menolak penggunaan barcode, maka seharusnya janji itu ditepati. Kecuali, ada alasan yang sangat kuat dan mendesak yang membuat janji itu tidak bisa ditepati.

Namun, apapun alasannya, pemerintah perlu memberikan penjelasan yang jujur dan transparan kepada masyarakat. Jangan sampai masyarakat merasa dibohongi dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.

Kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Bahwa, setiap janji yang diucapkan harus dipertimbangkan dengan matang. Jangan sampai janji yang diucapkan justru menjadi bumerang di kemudian hari.

Masyarakat Kalimantan Barat kini hanya bisa menunggu dan berharap. Semoga pemerintah bisa mengambil keputusan yang terbaik, yang tidak hanya menguntungkan satu pihak, tetapi juga memperhatikan kepentingan seluruh masyarakat.

Share this article
The link has been copied!